Kamis, 21 Februari 2013

PEMUDA, PENDIDIKAN, DAN MASA DEPAN BANGSA





KOMPETISI ESAI NASIONAL
PEMUDA, PENDIDIKAN, DAN MASA DEPAN BANGSA

TEMA :
PEMUDA DAN KONSERVASI MORAL UNTUK MASA DEPAN

Disusun Oleh :
Farid Hilmi Rosidi         1401412050/2012



PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
SEMARANG
2012















Indonesia sudah 67 tahun merdeka. Namum sistem pendidikan kian memburuk. Konsep-konsep pendidikan silih berganti dipakai namun hasilnya nihil, hanya menghasilkan pemuda yang hobi tawuran, pecandu obat-obatan, free-sex, pecandu miras, pemalak, provokator, gila dengan judi bola, pemeras teman sendiri, serta bergabung dengan geng yang meresahkan masyarakat. Seperti itulah kader pemuda pemimpin bangsa ini kelak.
Melihat fakta-fakta di atas, yang dapat kita simpulkan adalah  sungguh ironi jika kita melihat situasi pemuda bangsa dewasa ini. Bagaimana tidak, di tengah carut-marutnya negara, mulai dari politik, ekonomi, pendidikan hingga sampai kebudayaan, para pemuda justru mulai kehilangan jati dirinya, norma adatnya, karakteristik bangsa, arti penting dari Pancasila, serta rasa patriotisme dan nasionalisme, berubah menjadi gaya hidup kebarat-baratan yang tidak semuanya baik namun memiliki sisi lain yang buruk seperti hanya mengejar 3F (fun, food, and fashion). Seharusnya pemuda itu menjadi harapan dalam control of Pancasila character tapi sekarang seperti sudah tidak bisa diharapkan dan menjadi permasalahan nyata yang benar-benar mengancam pondasi bangsa. Seiring berjalannya waktu, degradasi moral Pancasila juga semakin menggerogoti negeri ini. Pemuda yang seharusnya menjadi pemimpin masa depan serta tempat solusi yang kreatif dan inovatif, tapi yang terjadi kini rentan terjebak ke dalam praktek yang negatif, seperti pergaulan bebas yang merenggut potensi perkembangan mereka. Tingkah laku, sopan santun, dan budi pekerti seakan hilang karena kurangnya kesadaran diri.
Ada yang salah di sini, dan yang menurut saya layak dipersalahkan
adalah sistem pendidikan. Pendidikan seharusnya menjadi tempat strategis untuk pembentukan karakter dan moral. Namun apa yang terjadi? Sekolah yang semestinya menjadi wadah teladan baik harus dianut tapi kenyataannya justru hanya mendorong sikap dan kebiasaan budaya mencontek, tawuran, dan fakta lain dapat ditemukan di beberapa sekolah. Sekolah sudah menjadi seperti lahan industri. Ini bertentangan dengan fungsi pendidikan nasional yang katanya “mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (UU No. 20, Tahun 2003 Pasal 3). Sebenarnya karakter pemuda kita telah mulai dirusak sejak mereka menginjak bangku pendidikan di SD, dengan secara tidak langsung diperkenalkannya sistem pungli yang dilakukan oleh pengajar untuk hal-hal yang tidak perlu dan berlebihan.
Pemuda, sesungguhnya tidak hanya memiliki peranan yang biasa saja dalam masyarakat. Mereka memainkan peranan agen perubahan penting  di negeri ini. Sejarawan Taufik Abdullah (1995) memandang pemuda adalah konsep-konsep yang sering mewujud pada nilai-nilai herois-nasionalisme. Taufik Abdullah pernah menyatakan betapa peristiwa besar di negeri ini digerakkan pemuda. Sejarah telah mencatat sepak terjang mereka, seperti peristiwa penculikan Soekarno dan Moh. Hatta dibawa ke Rengasdengklok yang dipelopori oleh golongan muda.
Sebagian besar pemuda Indonesia telah melupakan perjuangan masa lalu. Tidak seharusnya hal ini terjadi pada negara Indonesia yang sedang berkembang, karena negara yang besar adalah negara yang mampu menghormati jasa pahlawannya. Meski pelajaran sejarah hadir sejak bangku SD namun pemuda zaman sekarang susah memaknai perjuangan leluhurnya, mereka telah terancam dengan degradasi moral.
Lantas apa yang seharusnya bisa kita lakukan? Pemerintah harus fokus pada perbaikan pendidikan, terutama dalam mereformasi ulang sistem pendidikan menjadi lebih ideal untuk pembentukan karakter yang sesuai dengan nilai luhur Pancasila, sehingga bangsa kita dapat bersaing serta menunjukkan identitas dirinya di mata dunia. Kurt Singer menyebutkan pendidikan sekolah kita yang mengakibatkan kegelisahan dan ketakutan itu sebagai  Schwarzer Paedagogic (pedagogi hitam), (Sindhunata, 2001). Semestinya sekolah adalah tempat dimana pemuda menemukan kejujuran, kesederhanaan dan sikap egaliter. Di sana pemuda belajar tentang kejujuran, etika, moral, menjadi dirinya, saling mengasihi, saling berbagi, demokrasi, dan kebebasan berpendapat, juga memperoleh perlindungan dari penipuan, kebohongan, dan kedustaan. Berbicara tentang fungsi dan peranan pendidikan dalam masyarakat, Wuradji (1988) menyatakan bahwa pendidikan sebagai lembaga konservatif mempunyai fungsi sebagai berikut; fungsi sosialisasi, kontrol sosial, pelestarian budaya masyarakat, latihan dan pengembangan tenaga kerja, seleksi dan alokasi, pendidikan dan perubahan sosial, reproduksi budaya, difusi kultural, peningkatan sosial, dan modifikasi sosial. Dari pendapat Wuradji bisa kita bandingkan dengan realita pendidikan, hanya fungsi sosialisasi, fungsi latihan dan pengembangan tenaga kerja yang outputnya nyata. Sekolah harus mengoreksi diri mengenai fungsinya yang sesungguhnya.
Ki Hadjar Dewantara mengemukakan konsep sekolah sebagai “pusat kebudayaan” yang ditandai dengan adanya pendapa di Taman Siswa (Yogyakarta) sebagai ruang publik terbuka, praktik politik, dan kebudayaan rakyat waktu itu (Ki Hadjar Dewantara, 2004). Namun sekolah sekarang jauh dari konsep tersebut, dan justru terbenam dalam praktik persekolahan yang dikelola oleh konsep new public managerialism hingga membuahkan fenomena korporatisasi pendidikan (David Boje & Khadija Al-Arkoubi, 2008). Berkaitan dengan problem moralitas di masyarakat seperti korupsi, kebohongan publik, politisi busuk, dan penguasa otoriter, maka sekolah tidak akan dapat berperan lebih jauh ketika masih mendasarkan diri bagaikan lembaga diklat bagi korporasi-korporasi dunia industri. Sekolah kemudian menjadi tangan panjang pasar (market) dan negara (state), meneguhkan diktum Althusser (1971) bahwa pendidikan adalah aparatus ideologis negara untuk menstabilkan dan melanggengkan status quo kekuasaan negara di mana negara tersebut telah berselingkuh dengan para borjuis kapitalis dalam hubungan simbiosis mutualisme. Ketika sekolah tidak dapat berperan sebagai pusat kebudayaan, maka ia tidak dapat melakukan fungsi memilah-milah, menganalisis, mengolah, memformulasikan, dan mentransformasi nilai-nilai dan moralitas yang baik di tengah masyarakat. Sekolah dalam model korporasi lebih sibuk mengurus hubungannya dengan dunia industri, mengesampingkan konsepsi filosofi, ideologi kurikulum dan pendidikan rekonstruksionisme sosial (Paul Towler, 2003). Dengan demikian, tiada jalan lain kecuali mengembalikan posisi sekolah menjadi pusat kebudayaan, pusat gerakan, serta pusat belajar membangun kesadaran kritis pemuda.
Semua realita menyedihkan tersebut seharusnya merupakan salah satu bentuk permasalahan orang tua pemuda, pendidikan dan pemerintah. Menyadarkan pemuda agar nantinya bisa menjadi harapan bangsa, stop kekerasan, say no to drugs, jauhi free-sex, cintai budaya lokal, berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Perbaiki pendidikan agar menghasilkan output pemuda yang baik, bermoral, disertai kemampuan untuk berinovasi, kreatif, produktif, dan mandiri. Pendidikan harus berdasarkan nilai-nilai agama, budaya, dan adat istiadat bangsa yang bernilai luhur. Nilai-nilai ini diinternalisasikan ke dalam diri peserta secara komprehensif dan melekat dalam setiap mata pelajaran. Jadi, mari kita lestarikan moral bangsa dengan berbudi pekerti luhur dan mengembangkan konservasi moral. Agar kita tak kehilangan pemuda berjati-diri pancasila dan tidak dipandang rendah oleh bangsa lain.
 







DAFTAR PUSTAKA

Dewantara, K.H. 2004. Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. 

Towler, Paul. 2003. Education Policy. London: Routledge.

Setyaningrum, Pandan Wulan. 2011. Tugas ilmu Sosial Dasar Pemuda dan Sosialisasi.

Wells, H.G. 2005. The Catastrope of Education.

http://www.pendidikan-diy.go.id/?view=v_artikel&id=7

1 komentar:

  1. Casino de las vegas casino and taxcode review 2021
    2021-11-27 Find out how to get Las Vegas Strip 서산 출장안마 casino and taxcode review 삼척 출장안마 2021. Learn all 부산광역 출장안마 about the casinos, deposit 구미 출장샵 and withdraw, security and 서산 출장안마 much more.

    BalasHapus