KOMPETISI ESAI NASIONAL
PEMUDA, PENDIDIKAN, DAN MASA DEPAN
BANGSA
TEMA :
PEMUDA
DAN KONSERVASI MORAL UNTUK MASA DEPAN
Disusun Oleh :
Farid
Hilmi Rosidi 1401412050/2012
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
SEMARANG
2012
Indonesia
sudah 67 tahun merdeka. Namum sistem pendidikan kian memburuk. Konsep-konsep
pendidikan silih berganti dipakai namun hasilnya nihil, hanya menghasilkan
pemuda yang hobi tawuran, pecandu obat-obatan, free-sex, pecandu miras,
pemalak, provokator, gila dengan judi bola, pemeras teman sendiri, serta
bergabung dengan geng yang meresahkan masyarakat. Seperti itulah kader pemuda
pemimpin bangsa ini kelak.
Melihat
fakta-fakta di atas, yang dapat kita simpulkan adalah sungguh ironi jika kita melihat situasi
pemuda bangsa dewasa ini. Bagaimana tidak, di tengah carut-marutnya negara,
mulai dari politik, ekonomi, pendidikan hingga sampai kebudayaan, para pemuda justru
mulai kehilangan jati dirinya, norma adatnya, karakteristik bangsa, arti
penting dari Pancasila, serta rasa patriotisme dan nasionalisme, berubah menjadi
gaya hidup kebarat-baratan yang tidak semuanya baik namun memiliki sisi lain
yang buruk seperti hanya mengejar 3F (fun, food, and fashion). Seharusnya
pemuda itu menjadi harapan dalam control
of Pancasila character tapi sekarang seperti sudah tidak bisa diharapkan
dan menjadi permasalahan nyata yang benar-benar mengancam pondasi bangsa. Seiring
berjalannya waktu, degradasi moral Pancasila juga semakin menggerogoti negeri
ini. Pemuda yang seharusnya menjadi pemimpin masa depan serta tempat solusi
yang kreatif dan inovatif, tapi yang terjadi kini rentan terjebak ke dalam
praktek yang negatif, seperti pergaulan bebas yang merenggut potensi
perkembangan mereka. Tingkah laku, sopan santun, dan budi pekerti seakan hilang
karena kurangnya kesadaran diri.
Ada
yang salah di sini, dan yang menurut saya layak dipersalahkan
adalah sistem pendidikan. Pendidikan seharusnya menjadi tempat strategis untuk pembentukan karakter dan moral. Namun apa yang terjadi? Sekolah yang semestinya menjadi wadah teladan baik harus dianut tapi kenyataannya justru hanya mendorong sikap dan kebiasaan budaya mencontek, tawuran, dan fakta lain dapat ditemukan di beberapa sekolah. Sekolah sudah menjadi seperti lahan industri. Ini bertentangan dengan fungsi pendidikan nasional yang katanya “mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (UU No. 20, Tahun 2003 Pasal 3). Sebenarnya karakter pemuda kita telah mulai dirusak sejak mereka menginjak bangku pendidikan di SD, dengan secara tidak langsung diperkenalkannya sistem pungli yang dilakukan oleh pengajar untuk hal-hal yang tidak perlu dan berlebihan.
adalah sistem pendidikan. Pendidikan seharusnya menjadi tempat strategis untuk pembentukan karakter dan moral. Namun apa yang terjadi? Sekolah yang semestinya menjadi wadah teladan baik harus dianut tapi kenyataannya justru hanya mendorong sikap dan kebiasaan budaya mencontek, tawuran, dan fakta lain dapat ditemukan di beberapa sekolah. Sekolah sudah menjadi seperti lahan industri. Ini bertentangan dengan fungsi pendidikan nasional yang katanya “mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (UU No. 20, Tahun 2003 Pasal 3). Sebenarnya karakter pemuda kita telah mulai dirusak sejak mereka menginjak bangku pendidikan di SD, dengan secara tidak langsung diperkenalkannya sistem pungli yang dilakukan oleh pengajar untuk hal-hal yang tidak perlu dan berlebihan.
Pemuda,
sesungguhnya tidak hanya memiliki peranan yang biasa saja dalam masyarakat. Mereka
memainkan peranan agen perubahan penting
di negeri ini. Sejarawan Taufik Abdullah (1995) memandang pemuda adalah
konsep-konsep yang sering mewujud pada nilai-nilai herois-nasionalisme. Taufik
Abdullah pernah menyatakan betapa peristiwa besar di negeri ini digerakkan
pemuda. Sejarah telah mencatat sepak terjang mereka, seperti peristiwa
penculikan Soekarno dan Moh. Hatta dibawa ke Rengasdengklok yang dipelopori
oleh golongan muda.
Sebagian besar
pemuda Indonesia telah melupakan perjuangan masa lalu. Tidak seharusnya hal ini
terjadi pada negara Indonesia yang sedang berkembang, karena negara yang besar
adalah negara yang mampu menghormati jasa pahlawannya. Meski pelajaran sejarah hadir
sejak bangku SD namun pemuda zaman sekarang susah memaknai perjuangan
leluhurnya, mereka telah terancam dengan degradasi moral.
Lantas
apa yang seharusnya bisa kita lakukan? Pemerintah harus fokus pada perbaikan
pendidikan, terutama dalam mereformasi ulang sistem pendidikan menjadi lebih ideal
untuk pembentukan karakter yang sesuai dengan nilai luhur Pancasila, sehingga bangsa
kita dapat bersaing serta menunjukkan identitas dirinya di mata dunia. Kurt
Singer menyebutkan pendidikan sekolah kita yang mengakibatkan kegelisahan dan
ketakutan itu sebagai Schwarzer Paedagogic (pedagogi hitam),
(Sindhunata, 2001). Semestinya sekolah adalah tempat dimana pemuda menemukan
kejujuran, kesederhanaan dan sikap egaliter. Di sana pemuda belajar tentang
kejujuran, etika, moral, menjadi dirinya, saling mengasihi, saling berbagi,
demokrasi, dan kebebasan berpendapat, juga memperoleh perlindungan dari
penipuan, kebohongan, dan kedustaan. Berbicara tentang fungsi dan peranan
pendidikan dalam masyarakat, Wuradji (1988) menyatakan bahwa pendidikan sebagai
lembaga konservatif mempunyai fungsi sebagai berikut; fungsi sosialisasi, kontrol
sosial, pelestarian budaya masyarakat, latihan dan pengembangan tenaga kerja,
seleksi dan alokasi, pendidikan dan perubahan sosial, reproduksi budaya, difusi
kultural, peningkatan sosial, dan modifikasi sosial. Dari pendapat Wuradji bisa
kita bandingkan dengan realita pendidikan, hanya fungsi sosialisasi, fungsi
latihan dan pengembangan tenaga kerja yang outputnya nyata. Sekolah harus
mengoreksi diri mengenai fungsinya yang sesungguhnya.
Ki Hadjar Dewantara mengemukakan konsep sekolah sebagai
“pusat kebudayaan” yang ditandai dengan adanya pendapa di Taman Siswa
(Yogyakarta) sebagai ruang publik terbuka, praktik politik, dan kebudayaan
rakyat waktu itu (Ki Hadjar Dewantara, 2004). Namun sekolah sekarang jauh dari
konsep tersebut, dan justru terbenam dalam praktik persekolahan yang dikelola
oleh konsep new public managerialism
hingga membuahkan fenomena korporatisasi pendidikan (David Boje & Khadija
Al-Arkoubi, 2008). Berkaitan dengan problem moralitas di masyarakat seperti
korupsi, kebohongan publik, politisi busuk, dan penguasa otoriter, maka sekolah
tidak akan dapat berperan lebih jauh ketika masih mendasarkan diri bagaikan
lembaga diklat bagi korporasi-korporasi dunia industri. Sekolah kemudian
menjadi tangan panjang pasar (market) dan negara (state), meneguhkan diktum
Althusser (1971) bahwa pendidikan adalah aparatus ideologis negara untuk
menstabilkan dan melanggengkan status quo kekuasaan negara di mana negara
tersebut telah berselingkuh dengan para borjuis kapitalis dalam hubungan
simbiosis mutualisme. Ketika sekolah tidak dapat berperan sebagai pusat
kebudayaan, maka ia tidak dapat melakukan fungsi memilah-milah, menganalisis,
mengolah, memformulasikan, dan mentransformasi nilai-nilai dan moralitas yang
baik di tengah masyarakat. Sekolah dalam model korporasi lebih sibuk mengurus hubungannya
dengan dunia industri, mengesampingkan konsepsi filosofi, ideologi kurikulum
dan pendidikan rekonstruksionisme sosial (Paul Towler, 2003). Dengan demikian,
tiada jalan lain kecuali mengembalikan posisi sekolah menjadi pusat kebudayaan,
pusat gerakan, serta pusat belajar membangun kesadaran kritis pemuda.
Semua realita
menyedihkan tersebut seharusnya merupakan salah satu bentuk permasalahan orang
tua pemuda, pendidikan dan pemerintah. Menyadarkan pemuda agar nantinya bisa
menjadi harapan bangsa, stop kekerasan, say no to drugs, jauhi free-sex, cintai
budaya lokal, berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Perbaiki pendidikan agar
menghasilkan output pemuda yang baik, bermoral, disertai
kemampuan untuk berinovasi, kreatif, produktif, dan mandiri. Pendidikan harus berdasarkan nilai-nilai
agama, budaya, dan adat istiadat bangsa yang bernilai luhur. Nilai-nilai ini diinternalisasikan
ke dalam diri peserta secara komprehensif dan melekat dalam setiap mata
pelajaran. Jadi, mari kita lestarikan moral bangsa dengan berbudi pekerti luhur
dan mengembangkan konservasi moral. Agar kita tak kehilangan pemuda berjati-diri
pancasila dan tidak dipandang rendah oleh bangsa lain.
DAFTAR PUSTAKA
Dewantara, K.H. 2004. Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Towler, Paul. 2003. Education Policy. London: Routledge.
Setyaningrum, Pandan Wulan. 2011. Tugas ilmu Sosial Dasar Pemuda dan Sosialisasi.
Wells, H.G. 2005. The Catastrope of Education.
http://www.pendidikan-diy.go.id/?view=v_artikel&id=7
Casino de las vegas casino and taxcode review 2021
BalasHapus2021-11-27 Find out how to get Las Vegas Strip 서산 출장안마 casino and taxcode review 삼척 출장안마 2021. Learn all 부산광역 출장안마 about the casinos, deposit 구미 출장샵 and withdraw, security and 서산 출장안마 much more.